Sabtu, 10 Mei 2008

പെണ്ടിടികാന് ഇസ്ലാം ഡി cina

PENDIDIKAN ISLAM DI CHINA, KOREA, JEPANG DAN SEKIYTARNYA

Islam sebagai agama terakhir datang membawa kebenaran yang komperehensip, karena di dalamnya mengatur hidup dan kehidupan manusia secara lengkap dan menyeluruh. Baik itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia denga sesamanya manusia dan manusia dengan ruang yang melingkupinya. Islam datang dengan spirit untuk menghantarkan manusia mmenjadi makhluk yang senantiasa berada pada posisi tujuan penciptaannya, yaitu sebagai abdi Allah swt. dan sebagai khalifah di permukaan bumi dan untuk meneruskan warisan yang telah diterima oleh manusia pertama yaitu Adam as.

Islam adalah agama dakwah, yang di dalamnya usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau para penggantinya Semangat memperjuangkan kebenaran itu tak kunjung padam dari jiwa para penganutnya sehingga kebenaran tiu terwujud dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan, semangat yang membuat mereka merasa tidak puas sampai berhasil menanamkan nilai kebenaran itu ke dalam jiwa setiap orang, sehingga apa yang diyakini sebagai kebenaran diterima oleh seluruh manusia.[1]

Semangat dakwah ini membuat seorang Muslim rela berhijrah, baik untuk mencari ilmu pengetahuan atau untuk mencari keuntungan materi, dan seterusnya sepanjang tidak membahayakan keyakinannya. Dalam segala hal ia berusaha tampil sebagai contoh dari seorang Muslim yang baik dan juga harus menjadi pembawa risalah Islam kepada orang-orang di sekitarnya. Tersebarnya agama ini ke berbagai pelosok dunia adalah disebabkan oleh berbagai faktor, baik sosial, politik, maupun agama; akan tetapi di samping itu, satu faktor yang paling kuat dan menentukan adalah kemauan dan kegiatan yang tak kenal lelah dari para muballigh Islam yang, dengan Nabi sendiri sebagai contoh utamanya, telah berjuang mengajak orang-orang kafir masuk Islam.[2]

Orang-orang Muslim di luar Timur Tengah pertama muncul karena meningkatnya para pedagang Muslim yang menetap di pelabuhan-pelabuhan di negara asing untuk berdagang. Permulaanya pedagang-padagang ini merupakan duta-duta dari suatu negara yang kuat dan membawa semua kewibawaan yang diakibatkannya. Mereka ini merupakan komunitas muslim pertama di pantai India, Sri Lanka, China, Afrika Timur, kepulauan Indonesia dan Filipina dan pulau-pulau di samudera Hindia.[3] Dalam perjalanan waktu, para pedagang ini mengawini wanita-wanita setempat dan generasi kedua dan ketiganya menjadi bagian dari negeri tersebut. Sering terjadi penduduk setempat pindah ke agama baru sehingga menambah kekuatan dari segi jumlah kepada komunitas Muslim. Di beberapa tempat, perpindahan agama ini terjadi pada skala yang demikian besar sehingga apa yang terlihat pada permulaannya sebagai minoritas yang tidak berarti, dalam perjalanan waktu, menjadi mayoritas yang berkemampuan secara penuh seperti kasus Malaysia dan Indonesia.

Wilayah-wilayah yang tersentuh oleh Islam secara dramatis semakin meluas setelah Rasulullah saw. wafat. Selama lebih dari seabad orang Muslim tetap terorganisasi sebagai sati entetitas politik, kemudian pecah menjadi beberapa fragmen. Meskipun terjadi fragmen politik, kaum Muslimin disatukan oleh pandangan bersama terhadap agama, standar nilai moral bersama dan suatu system hukum bersama. Lebih lagi idealisme keagamaan mereka memberikan dorongan untuk mengembangkan suatu peradaban dan kebudayaan terbesar bagi sejarah manusia sehingga untuk beberapa abad kaum Muslim tetap menjadi peminpin umat manusia dalam cabang kehidupan. Namun tak ada bangsa yang tetap sukses sepanjang masa, dan akhirnya peradaban Muslim juga mengalami kemunduran.[4] Ini terjadi karena adanya factor internal di antara Muslim itu sendiri dan juga karena factor eksternal, yang terkait dengan di luar komunitas Muslim.

Posisi unggul yang pernah dirasakan seharusnya menjadi cambuk bagi umat Islam untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dicapai. Faktor-faktor yang membawa kepada keterpurukan tersebut memerlukan analisis yang cermat agar menjadi pelajaran berharga untuk bangkit kembali. Dalam hubungan ini, diharapkan adanya kepeloporan baik secara konseptual maupun secara operasional yang aplikatif. Kepoloporan ini harus terjelma dalam segala cabang kehidupan umat Islam, baik itu sosial, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan.

Membahas segi kehidupan umat Islam, pendidikan misalnya, dalam konteks sosial kemasyarakatan pada dasarnya terkait erat dengan kajian yang sangat luas, sehingga pendidikaan harus diletakkan sebagai kerangka makro, yakni pendidikan sebagai proses kebudayaan, sehingga tidak mungkin pendidikan mengisolasi diri dari perkembangan suatu komunitas, baik secara kultur maupun struktural.[5] Hal ini nampak jelas dari sejarah pendidikan yang berlansung di kalangan umat Islam, bahwa pendidikan dengan segala kaitannya adalah untuk mencerahkan dan memposisikan manusia, utamanya umat Islam pada fungsi dan tujuan penciptaannya. Karena dengan pendidikan, manusia dapat melansungkan kehidupan kemuliannya, sebagai insan yang bermoral dan berperadaban tinggi. Karena proses pembangunan bangsa berarti pula memfungsikan dan mendinamisasikan pranata-pranata pendidikan secara terpadu dan berkelanjutan.[6]

Melihat keterkaitan yang begitu kuat antara pendidikan dan dinamika kehidupan umat, maka pokok permasalahan pada makalah ini yaitu bagaimana pendidikan Islam di China, Korea, Jepang dan sekitarnya.

II. PEMBAHASAN

A. China

China telah dikenal oleh bangsa Arab sejak awak kebangkitan Islam. Menurut catatan wangsa T’ang, semasa pemerintahan Yung-Wui pada 31 H/651 M telah datang dari tanah Arab utusan untuk menghadap kaisar membawa hadiah dan membawa agama baru. Utusan itu di pimpin oleh Said bin Abi Waqqas. Menurut sumber tersebut, said bin Abi Waqqas wafat dalam usia tua dan dimakamkan di Kwangcu.[7]

Islam sampai ke China melalui dua jalur peredagangan, pertama-tama melalui jalan laut, dan kemudian melalui jalan darat. Komunitas Muslim China telah meningkat terus menerus bertahun-tahun melalui imigrasi, perpindahan agama dan perkawinan.

Sejarah perkembangan Islam di China menunjukkan bahwa umat Islam China tidak pernah mampu membangun suatu entitas politik yang merdeka dan abadi di China. Meskipun di bawah rezim Mongol (1279-1368), posisi Muslim China sangat berpengaruh, dan banyak ahli sejarah memandang Dinasti Yuan adalah Muslim. Pengaruh ini tidak menurun di bawah Dinasti Ming (1368-1644),[8] sepanjang dinasti ini Muslim menjadi terinterggrasi dengan baik dalam kebudayaan China tanpa kehilangan identitas Muslimnya.

Abad XIX merupakan abad pemberontakan Muslim terus-menerus melawan penindasan. Sejarah perjuangan umat Muslim selama tiga abad menentang penindasan dan kezaliman merupakan bukti terbaik kesatuan mereka dan leinginan mereka yang luar biasa untuk menentang siapapun yang berani menentang keyakinan mereka dan jalan hidup mereka yang islami berapa lamanya pun harus dilakukan. Sehingga itu bukan suatu hal yang aneh ketika orang Muslim termasuk pendukung Revolusi Republik pada 1911 yang paliing setia. Presiden pertama, Dr. Sun Yat Sen menanggapai dengan membebaskan orang Muslim dari segala penganiayaan. Ia menyatakan bahwa bangsa China terdiri dari lima komponen yang sama: Han (orang Budha China); Hui (Muslim China); (Ming (Mongol); Man (Manchu); dan Tsang (orang Tibet).[9]

Namun penganiayaan Manchu selama tiga abad menyebabkan orang Muslim lebih miskin, jumlahnya berkurang, terputus hubungan dengan Muslim lainnya. Walaupn kesetiaan mereka kepada Islam kuat, tetapi pengamalan Islam mereka memerlukan banyak peningkatan. Setelah 1911, Muslim China membangun kembali kontak-kontak dengan dunia Muslim, melakukan upaya perbaikan organisasi dan pendidikan yang membawa kembali massa Muslim kepada garis ortodoksi,[10] yang ditandai dengan berdirinya beberapa organisasi Islam yang bertujuan menjadi wadah bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran Islam.

Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam di China

Sebelum berdirinya Republik Rakayat China, ada 42.000 masjid di China yang berbarengan dengan sekolah Islam. Masjid-masjid ini ada di seluruh negeri dimanapun muslim berada. Sebuah kota seperti Kashgar, metropolis Muslim di Turkestan Timur memeliki 400 masjid, Beijing, mempunyai 49 masjid. Ada juga 27 di Nankin, 14 masjid di Shanghai, 11 masjid Tching-tou, 11 di Hankow, 10 di Tien-Tsin, 8 di Urumchi dan 4 di kota Canton.[11]

Terdapat puluhan ribu imam aktif dalam mendidik rakyat Muslim. Ini disebut ahung , ada juga imam wanita di antara mereka. Imam-imam itu dididik di empat pusat pengajaran Islam yang besar setingkat universitas al-Azhar di Kairo.Pertama, di Turkestan Timur, di kota Kashgar yang bertindak sebagai pusat penyebaran kebudayaan Islam ke seluruh China. Kedua, di Ho Tcheu, di Khansu di mana mahasiswa datang dari segala penjuru China untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman.Ketiga, Institut Pendidikan Tinggi, di Beijing dan keempat di kota Houai-King di propinsi Honan yang mempunyai jumlah Muslim terbesar di antara daerah-daerah di China.[12]

Organisasi Islam yang pertama berdiri adalah Muslim Progressive Society, didirkan oleg Agung Wang Hoang di Beijing, seorang ulama yng pernah berkunjung ke Mekah, Mesir dan Turki. Organisasi ini bergerak di bidang pendidikan, memasukkan pelajaran bahsa Arab dan tafsir al-Qur’an pada pendidikan rendah yang diasuh oleh masjid-masjid. Organisasi yang kedua adalah Chinese Muslim Association, didirikan pada tahun 1938 oleh Umar Pai Ching Hsi. Organisasi ini didirikan oleh umat Islam atas inisiatif pemerintah, dan bergerak dobidang penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa China, mencetak buku-buku agama, mendirikan madrasah-madrasah, mengirimkan mahasiswa ke luar negeri dan menjadi partai politik yang mewakili kepentingan Muslim China di Parlemen. Sedangkan organisasi ketiga adalah Muslim Literary Society of China yang didirikan di Shanghai oleh Jalaluddin Ha The Cheng, seorang yang pernah elajar di Mesir, dan menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu dan Inggeris. Lembaga ini bergerak di badang dakwah dan penerbitan, mengadakan pengajian al-Qur’an dan al-Hadis, memperluas cakrawala pendidikan Islam dan mengadakan pertukaran kebudayaan dengan negara-negara Muslim di luar China.[13]

Akhirnya, sejak abad XIX sejumlah besar literatur Islam telah dihasilkan oleh orang China, dapat disebut Liu Chih yang pernah menulis risalah tentang kehidupan nabi, yang mengajak agar orang Muslim mencontih nabi jika kehidupannya ingin lebih baik. Penulis lainnya adalah Wang Tai-yu (wafat 1660) dan Yusuf Ma Chu (wafat 1711) menulis banyak tentabg keimanan dan filsafat. Perhatian terhadap bahasa Arab dan pengajarannya kepada anak-anak bermula di abad XIX. Sepanjang awal abad ini bacaan anak-anak di tulis untuk pendidikan anak dan remaja Muslim dalam bahasa China. Jadi, pada pertengahan abad XX , seorang China Muslim dapat menjadi seorang imam yang terpercaya dan imam dalam bahasanya sendiri.[14]

Semua ini berubah selama Republik rakyat, terutama setelah Revolusi Kebudayaan. Praktis semua masjid ditutup, dirusak dan diubah menjadi night-club, gudang, gedung bioskop, barak dan sebagainya. Pengecualian hanya terjadi di Beijing, masjid Tung Zu dan masjid Kahgar di buka untuk petinggi-petinggi asing. Kebanyakan sekolah-sekolah` Muslim ditutu atau kurikulumnya diganti untuk memasukkan indoktrinasi komunis. Pemimpin-pemimpin keagamaan di siksa dan dihina, poster-poster anti Islam tergantung dikebanyakan daerah dan kota Muslim, buku-buku keagamaan disita dan kadang-kadang di bakar di lapangan terbuka


Tidak ada komentar: